Tottenham Hotspur meraih trofi pertama mereka sejak tahun 2008 setelah mengalahkan Manchester United 1-0 di final Liga Europa UEFA dalam pertandingan yang ketat dan tegang di Bilbao.
Pertandingan ditentukan oleh gol berantakan dari Brennan Johnson tepat sebelum jeda babak pertama, namun Spurs dan manajer mereka yang sedang disorot, Ange Postecoglou, tidak akan mempermasalahkan hal itu.
Sifat gol yang kacau — awalnya dikreditkan sebagai gol bunuh diri Luke Shaw setelah bola disundul masuk di tiang dekat — mencerminkan kualitas pertandingan yang rendah dari awal hingga akhir.
Laga ini benar-benar terlihat seperti pertarungan antara dua tim yang berada di posisi ke-16 dan ke-17 di klasemen Liga Primer Inggris.
Manchester United kesulitan menciptakan peluang yang benar-benar matang saat mencoba bangkit dalam pertandingan ini, meskipun Micky van de Ven harus melakukan penyelamatan akrobatik di garis gawang untuk menggagalkan sundulan Rasmus Højlund, dan peluang Luke Shaw di masa tambahan waktu berhasil diselamatkan dengan luar biasa oleh Guglielmo Vicario.
Bagi Tottenham, ini adalah trofi pertama dalam 17 tahun dan tiket ke Liga Champions UEFA musim depan. Sementara bagi United, ini berarti tidak ada sepak bola Eropa untuk pertama kalinya sejak musim 2013-2014 dan masa depan yang tidak pasti di bawah pelatih Ruben Amorim. — Rob Dawson
Ange Menepati Janjinya — Tapi Akankah Ia Pertahankan Posisinya?
Manajer asal Australia ini kerap menjadi bahan ejekan sepanjang musim ini, sejak ia dengan percaya diri menyatakan bahwa dirinya selalu memenangkan sesuatu di musim keduanya bersama klub.
Saat menangani Celtic di Skotlandia, ia meraih treble domestik pada tahun keduanya. Di Yokohama F. Marinos di Jepang, ia memberikan gelar J1 League pertama dalam 15 tahun. Bersama tim nasional Australia, ia menjuarai Piala Asia AFC 2015. Di Brisbane Roar, ia membawa tim tersebut meraih gelar ganda domestik pertama mereka.
Namun, kegagalan Tottenham meraih trofi selama bertahun-tahun seakan menjadi tantangan yang benar-benar berbeda, apalagi kampanye domestik mereka musim ini penuh kekalahan — total 21 kekalahan.
Tetapi Ange tetap menepati janjinya, dan ia melakukannya dengan gaya yang hampir berlawanan dengan filosofi menyerangnya yang dikenal dengan sebutan “Angeball”, yang membuatnya begitu dikagumi pada musim pertamanya bersama Spurs. Dalam babak gugur Liga Europa, Tottenham bermain lebih pragmatis, dan babak kedua final benar-benar berbeda dari gaya mereka biasanya — bertahan dalam untuk waktu yang lama, rela kehilangan penguasaan bola dan wilayah. Namun strategi itu berhasil.
Pertanyaannya sekarang: apakah keberhasilan ini cukup untuk meyakinkan manajemen klub — yang mulai ragu — bahwa mereka seharusnya tetap mempertahankannya melewati musim panas? — James Olley

Bagi United, Ini Adalah Akhir Menyedihkan dari Musim yang Menyedihkan
Memenangkan Liga Europa seharusnya bisa menjadi bentuk penyelamatan. Sebuah trofi di lemari dan malam yang layak dikenang di Bilbao. Namun sebaliknya, yang tersisa hanyalah menilai puing-puing dari musim yang kacau.
Dampaknya bisa sangat luas. Para petinggi klub secara terbuka menyatakan perlunya memperkuat posisi keuangan mereka lewat pemasukan dari Liga Champions. Kini, bukan hanya tak ada Liga Champions musim depan — tak ada sepak bola Eropa sama sekali.
Waktu yang akan menentukan seberapa besar hal ini akan menghambat kemampuan Ruben Amorim dalam membentuk skuadnya saat jendela transfer musim panas tiba.
sumber : espn.com