Hot Topics

Kisah Khaulah binti Tsa’labah: Wanita yang Pengaduannya Dijawab Langsung Melalui Al-Qur’an

Dalam sejarah Islam, tidak banyak tokoh wanita yang kisahnya diabadikan langsung dalam wahyu Al-Qur’an. Namun ada satu nama yang istimewa: Khaulah binti Tsa’labah, seorang sahabat perempuan yang pengaduannya didengar hingga ke langit ketujuh dan dijawab Allah melalui ayat-ayat suci.

Sosok Khaulah: Cantik, Fasih, dan Beriman Teguh

Khaulah binti Tsa’labah dikenal memiliki paras yang cantik dan jelita. Lebih dari itu, ia adalah wanita yang fasih bicara dan indah bahasanya. Ia menikah dengan Aus bin Shamit, saudara dari Ubadah bin Shamit, yang pernah ikut serta dalam berbagai peperangan bersama Rasulullah SAW, termasuk perang Badar dan Uhud.

Namun di balik kehidupan yang terlihat baik, rumah tangga Khaulah menyimpan ketegangan. Aus adalah lelaki yang telah renta dengan perangai yang berubah menjadi kasar dan suka membentak.

Awal Masalah: Kemarahan yang Berujung Zhihar

Suatu hari, ketika Khaulah sedang melaksanakan shalat di rumah, Aus memandangi istrinya dari belakang. Ia terkesan dengan keindahan tubuh istrinya, terutama saat Khaulah sedang bersujud. Setelah selesai shalat, Aus mengajak istrinya untuk berhubungan intim, namun Khaulah menolak.

Atas penolakan ini, Aus marah besar hingga keluar kalimat yang menjadikan Khaulah tertalak. Dengan emosi, ia berkata, “Bagiku engkau laksana punggung ibuku!”

Dalam tradisi masyarakat Arab pada masa itu, ucapan tersebut dikenal sebagai zhihar—cara seorang suami untuk menceraikan istrinya dengan menyamakannya dengan punggung ibu. Setelah mengucapkan kalimat itu, Aus pergi meninggalkan rumah.

Penolakan Khaulah: Tidak Ada Hubungan Sebelum Hukum Jelas

Beberapa waktu kemudian, Aus kembali ke rumah dan menginginkan Khaulah. Namun dengan kesadaran dan keimanan yang kuat, Khaulah menolak tegas. Ia berkata, “Tidak! Demi yang jiwa Khaulah berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh menjamahku karena engkau telah mengatakan sesuatu yang telah engkau ucapkan, sampai Allah dan Rasul-Nya memutuskan hukum tentang peristiwa ini.”

Sikap Khaulah ini mencerminkan ketaatannya pada hukum Allah. Ia tidak ingin melakukan sesuatu yang bisa melanggar syariat, sekalipun belum ada wahyu yang turun mengenai masalah tersebut.

Mengadu kepada Rasulullah

Keesokan harinya, Khaulah datang menemui Rasulullah SAW. Ia duduk di hadapan Nabi dan menceritakan peristiwa yang menimpanya, meminta fatwa tentang hukum zhihar yang dilakukan suaminya.

Saat itu, belum ada wahyu yang turun mengenai masalah zhihar. Rasulullah SAW bersabda, “Aku tidak akan memerintahkan sesuatu dalam persoalanmu. Aku tidak mengetahui persoalanmu, kecuali bahwa engkau telah haram untuknya.”

Mendengar jawaban tersebut, Khaulah berharap Rasulullah tidak akan menghukumi talak atas hubungan perkawinannya. Namun Nabi tetap memutuskan bahwa ucapan suaminya berarti perceraian.

Seruan ke Langit: Pengaduan Langsung kepada Allah

Melihat kenyataan bahwa keinginannya tidak dipenuhi, Khaulah tidak berputus asa. Dengan hati yang berkecamuk antara sedih dan duka, ia menengadahkan kepala ke arah langit.

Dengan suara lantang, Khaulah berseru, “Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu. Turunkanlah solusi bagi masalahku ini melalui lisan Nabi-Mu! Sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu, sebab belum ada ayat yang Engkau turunkan berkaitan dengan masalah yang kuhadapi ini.”

Air mata Khaulah berderai membasahi pipinya. Ia terus mengadukan masalahnya kepada Sang Pencipta.

Wahyu Turun: Allah Menjawab Khaulah

Di saat seperti itulah, tiba-tiba wajah Rasulullah SAW terlihat berubah—tanda beliau sedang menerima wahyu. Setelah itu, Nabi bersabda, “Wahai Khaulah, Allah telah menurunkan wahyu mengenai dirimu dan suamimu.”

Allah SWT menurunkan ayat-ayat pembuka Surah Al-Mujadilah (ayat 1-4), yang menegaskan bahwa masalah Khaulah dan suaminya adalah masalah zhihar, bukan talak. Dalam ayat tersebut, Allah menyatakan bahwa Dia telah mendengar pengaduan Khaulah dan dialog antara dia dengan Rasul-Nya.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa seorang suami yang menzhihar istrinya dan ingin mencabut ucapannya tidak boleh menggauli istrinya kecuali setelah memenuhi kafarat: memerdekakan seorang budak, atau jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut, atau jika tidak mampu juga, memberi makan 60 orang miskin.

Solusi Bersama

Setelah wahyu turun, Rasulullah menanyakan kepada Khaulah apakah suaminya mampu memerdekakan budak. “Demi Allah, wahai Rasulullah, ia tidak mempunyai biaya untuk membebaskan budak,” jawab Khaulah.

Nabi kemudian bertanya apakah suaminya mampu berpuasa dua bulan berturut-turut. “Demi Allah, sesungguhnya dia seorang tua renta yang tidak berdaya,” ujar Khaulah.

Maka Rasulullah menyarankan agar Aus memberi makan 60 orang miskin dengan kurma. Mendengar hal ini, Khaulah menjawab bahwa suaminya tidak memiliki makanan sebanyak itu.

Nabi SAW pun bersabda, “Kami akan membantumu dengan serangkai kurma.” Dengan hati gembira, Khaulah berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan membantunya dengan serangkai kurma lagi.”

Rasulullah memuji tindakan Khaulah dan berkata, “Engkau berbuat benar dan baik. Pergilah dan sedekahkan kurma itu baginya, kemudian perlakukan putra pamanmu dengan baik.”

Khaulah yang Dihormati Umar bin Khattab

Kisah Khaulah tidak berhenti sampai di situ. Pada suatu saat, Umar bin Khattab sedang berkendara bersama rombongan ketika bertemu dengan Khaulah di tepi jalan. Khaulah menghentikan perjalanan khalifah dan memberikan nasihat panjang lebar.

Pengawal Umar merasa kesal dan berkata, “Cukup wahai ibu. Engkau telah mengganggu amirul mukminin.”

Namun Umar menjawab dengan tegas, “Biarkanlah! Tidakkah engkau tahu siapa dia? Dia adalah Khaulah binti Tsa’labah yang Allah dengar pengaduannya dari atas langit ketujuh. Demi Allah, seandainya ia menahanku sampai malam, aku tidak akan meninggalkannya kecuali untuk shalat. Bila Tuhan semesta alam mau mendengarkan ucapannya, pantaskah bila Umar tak mau mendengarnya?”

Pernyataan Umar ini menunjukkan betapa tinggi kedudukan Khaulah di mata para sahabat, karena ia adalah wanita yang pengaduannya didengar langsung oleh Allah.

Pelajaran Berharga

Kisah Khaulah binti Tsa’labah memberikan banyak pelajaran berharga bagi umat Islam:

Pertama, pentingnya menjaga ketaatan kepada Allah dalam kondisi apa pun, bahkan di tengah masalah rumah tangga yang berat.

Kedua, kekuatan doa dan pengaduan kepada Allah. Khaulah tidak hanya mengadu kepada Rasulullah, tetapi juga langsung kepada Allah, dan Allah menjawabnya melalui wahyu.

Ketiga, keberanian seorang perempuan untuk memperjuangkan haknya dengan cara yang sesuai syariat. Khaulah tidak diam menerima ketidakadilan, tetapi ia juga tidak melanggar hukum agama.

Keempat, kisah ini menjadi bukti bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Setiap keluhan dan doa yang dipanjatkan oleh hamba-Nya pasti didengar, meskipun tidak selalu dijawab melalui wahyu seperti kasus Khaulah.


Kisah Khaulah binti Tsa’labah telah ditulis oleh para ulama tafsir dalam berbagai kitab mereka, termasuk Syekh Nawawi Banten dalam kitab Al-Munir li Ma’alimit Tanzil dan Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an.

Tags :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recent News