Pembatasan ekspor Beijing memicu krisis pasokan, mendorong pabrikan otomotif mencari alternatif di luar negeri
Ketegangan geopolitik antara China dan negara-negara Barat kini merambah ke jantung industri kendaraan listrik. Di tengah persaingan teknologi dan perdagangan global, China menggenggam kartu truf yang ampuh: dominasi atas pasokan rare earth elements (REE)—mineral kritis yang menjadi tulang punggung produksi motor listrik.
China Kuasai 90 Persen Pemrosesan Global
Angka-angka menunjukkan betapa besarnya ketergantungan dunia pada China. Negara tirai bambu tersebut menguasai 60 persen produksi total dan 90 persen kapasitas pemrosesan global untuk rare earth elements. Material seperti neodymium, dysprosium, dan terbium menjadi komponen vital dalam magnet permanen yang digunakan motor traksi kendaraan listrik.
Pada April 2025, Beijing mengguncang industri otomotif global dengan memberlakukan sistem lisensi baru untuk ekspor REE. Pemerintah China memberlakukan izin ekspor ketat pada tujuh elemen rare earth kritis, langkah yang langsung berdampak pada jalur produksi pabrikan besar seperti Ford dan Suzuki.
Dampak Langsung pada Produksi
Kebijakan ekspor China bukan sekadar ancaman teoritis. Ford menutup jalur produksi sementara pada Juni akibat kekurangan pasokan, menunjukkan betapa rentannya rantai pasokan yang bergantung pada satu negara.
Satu kendaraan listrik bermotor tunggal membutuhkan sekitar 550 gram komponen yang mengandung rare earth—hampir empat kali lipat dibanding mobil berbahan bakar bensin. Untuk baterai hybrid yang menggunakan nickel metal hydride, kebutuhannya melonjak hingga 4,45 kilogram, sebagian besar berupa lanthanum.
Upaya Diversifikasi: Amerika Serikat Memimpin
Menghadapi ancaman ini, Amerika Serikat gencar membangun ekosistem rare earth domestik. Departemen Pertahanan AS menginvestasikan $4,2 juta pada Rare Earth Salts, startup yang mengekstraksi oksida dari produk daur ulang seperti lampu neon.
MP Materials, operator tambang Mountain Pass di California, menjadi garda terdepan upaya AS mengurangi ketergantungan impor. Perusahaan ini tengah membangun fasilitas pemrosesan dan produksi magnet di tempat, mengusung strategi terintegrasi vertikal dari tambang hingga magnet—sepenuhnya terlepas dari pengaruh politik China.
Di Australia, Lynas Rare Earths—produsen non-China terbesar di dunia—memperluas pabrik pemrosesannya di Malaysia sambil mengembangkan fasilitas baru di Texas dan Australia Barat untuk menangani rare earth ringan dan berat.
Jepang: Kisah Sukses Pengurangan Ketergantungan
Jepang menawarkan cerita inspiratif. Ketergantungan Jepang pada rare earth China turun dari 90 persen pada 2010 menjadi 60 persen saat ini—prestasi yang dicapai melalui tiga strategi: investasi pada Lynas, teknologi daur ulang melalui perusahaan seperti Proterial dan Shin-Etsu Chemical, serta riset magnet alternatif bebas rare earth.
Konsorsium JARE Jepang (Sojitz dan JOGMEC) telah mendukung Lynas dengan investasi $250 juta sejak 2011, memastikan ekspansi produksi hingga 1.500 metrik ton annually.
Teknologi Alternatif dan Daur Ulang
Pabrikan otomotif juga bereksperimen dengan desain bebas magnet. Motor tanpa rare earth menghilangkan kebutuhan akan elemen rare earth kunci, meski memerlukan strategi desain dan manajemen daya yang berbeda.
Sementara itu, teknologi daur ulang berkembang pesat. Perusahaan seperti ReElement Technologies mengadaptasi kromatografi kontinu dari industri gula untuk memisahkan rare earth campuran menjadi oksida kemurnian tinggi. Universitas Kyoto bahkan mengembangkan proses SEEE yang mencapai pemulihan 96 persen untuk neodymium.
Tantangan di Depan Mata
Namun jalan menuju kemandirian masih panjang. Daur ulang tetap menantang, padat energi, dan memakan waktu. China menguasai 69 persen produksi tambang rare earth pada 2024, dan mendekati setengah cadangan dunia.
Biaya pemrosesan juga menjadi hambatan. Fasilitas Malaysia milik Lynas menelan biaya 30 persen lebih mahal dibanding pabrik China. Selain itu, dengan melambatnya adopsi kendaraan listrik di AS, urgensi menggantikan material asal China pun berkurang.
Menuju Keseimbangan Baru
Para analis memproyeksikan bahwa generasi pertama kendaraan listrik akan segera memasuki siklus daur ulang, menciptakan cadangan material non-China yang berada di bawah kendali Barat. Namun hingga saat itu tiba, industri otomotif global harus bernavigasi di tengah ketidakpastian geopolitik yang mengancam stabilitas produksi.
Upaya diversifikasi bukan tentang sepenuhnya menggantikan China, melainkan mematahkan monopolinya. Target yang realistis adalah mengurangi ketergantungan dari lebih 90 persen menjadi 60-70 persen—titik di mana China kehilangan kemampuan untuk menyandera ekonomi global.
Dalam lanskap yang terus berubah ini, satu hal yang pasti: perlombaan menuju kemandirian rare earth akan membentuk masa depan mobilitas listrik dalam dekade mendatang.



