Di sebuah desa kecil di Gunungkidul, Yogyakarta, pagi itu Suyatno, 52 tahun, sudah sibuk di ladang. Dengan tangan yang kasar karena terbiasa mencangkul, ia mencabut rumpun demi rumpun singkong yang batangnya menjulang setinggi dada orang dewasa. Umbi-umbinya tampak gemuk, menandakan tanah karang Gunungkidul masih setia memberikan hasil.
“Singkong ini sudah enam bulan. Kalau telat panen, malah keras,” ujar Suyatno sambil membersihkan tanah dari umbi yang baru diangkat. Bagi pria yang sudah bertani sejak remaja ini, singkong bukan sekadar sumber pangan, tetapi juga sumber kehidupan.
Dari Pangan Rakyat ke Tren Global
Singkong sering identik dengan makanan rakyat kecil. Namun, dunia kini mulai membuka mata: tanaman umbi yang sederhana ini ternyata menyimpan kekuatan besar.
Kandungan karbohidratnya tinggi, rendah lemak, dan kaya serat. Dalam 100 gram singkong rebus, terdapat sekitar 160 kalori serta vitamin C, kalium, magnesium, dan zat besi. Selain mengenyangkan, singkong juga membantu pencernaan, menjaga daya tahan tubuh, hingga ramah bagi penderita intoleransi gluten.
“Singkong adalah makanan masa depan. Dia murah, sehat, dan bisa menjawab kebutuhan diet bebas gluten yang sedang naik daun,” kata dr. Nurul Aini, pakar gizi Universitas Indonesia.
Tak heran, produk turunan singkong seperti tepung tapioka, tepung mocaf (modified cassava flour), hingga keripik singkong premium kini menembus pasar global.
UMKM yang Mendunia
Kisah sukses datang dari Lina Pratiwi, pengusaha muda asal Lampung. Ia mengolah singkong menjadi keripik premium dengan aneka rasa modern—mulai dari balado, keju, hingga barbeque. Produk yang diberi nama Cassava Crunch itu kini sudah dikirim hingga ke Singapura dan Jepang.
“Awalnya hanya coba-coba jual di bazar lokal. Ternyata pasar luar negeri tertarik karena singkong bebas gluten dan lebih sehat dibanding snack berbahan terigu,” ujar Lina.
Fenomena ini menandakan bahwa singkong bukan hanya makanan pengganti nasi, tetapi juga komoditas bernilai ekonomi tinggi.
Potensi Ekonomi yang Tersembunyi
Indonesia sendiri merupakan salah satu produsen singkong terbesar dunia. Namun, sebagian besar hasil panen masih dijual dalam bentuk segar. Nilai tambah baru muncul ketika singkong diolah.
Ekonom pangan, Budi Santoso, menekankan pentingnya inovasi. “Singkong bisa menjadi bahan baku tepung mocaf untuk industri roti dan mie bebas gluten. Bisa juga dikembangkan menjadi bioetanol sebagai energi terbarukan. Jika serius, nilai ekonominya bisa menyaingi gandum dan jagung,” jelasnya.
Tantangan di Balik Peluang
Meski potensinya besar, singkong masih menghadapi tantangan. Harga jual di tingkat petani kerap rendah, akses pasar terbatas, dan inovasi pengolahan masih minim. Suyatno, sang petani Gunungkidul, mengaku harga singkong di desanya hanya sekitar Rp1.500 per kilogram.
“Kalau dijual ke pabrik lebih untung, tapi jaraknya jauh. Banyak yang akhirnya cuma dijual ke tengkulak,” keluhnya.
Pemerintah sebenarnya telah mendorong diversifikasi pangan berbasis singkong. Program pengembangan tepung mocaf dan Gerakan Makan Singkong menjadi salah satu strategi mengurangi ketergantungan impor gandum. Namun, jalan menuju kemandirian pangan masih panjang.
Masa Depan “Emas Putih” Indonesia
Dengan tren hidup sehat dan meningkatnya permintaan produk bebas gluten di dunia, singkong punya peluang emas untuk naik kelas. Dari ladang sederhana di pedesaan hingga rak supermarket internasional, singkong berpotensi menjadi kebanggaan Indonesia.
Suyatno mungkin tak pernah membayangkan umbi yang dipanennya bisa menjadi roti bebas gluten di kafe modern Tokyo. Namun begitulah perjalanan singkong: dari tanah desa, ia bisa menembus meja makan dunia.
“Kalau singkong dihargai lebih baik, petani seperti saya pasti tambah semangat menanam,” kata Suyatno dengan senyum.
🌱 Singkong bukan lagi sekadar makanan rakyat kecil. Ia adalah cerita tentang kesehatan, peluang bisnis, dan harapan kemandirian pangan Indonesia.