Jakarta – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberikan peringatan tegas kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Instansi yang kerap diterpa isu negatif itu diberi waktu satu tahun untuk membenahi kinerja dan citranya. Jika gagal, ancaman pembekuan dan pengalihan fungsi kepada pihak swasta asing akan menjadi kenyataan.
Ultimatum tersebut disampaikan Purbaya usai menghadiri Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Kamis (27/11/2025). Menkeu mengungkapkan keprihatinannya terhadap citra DJBC yang kurang baik di mata masyarakat, media, hingga pimpinan tertinggi negara.
“Saya sudah minta waktu satu tahun ke Presiden untuk tidak diganggu dulu. Kalau dalam periode itu Bea Cukai tidak bisa memperbaiki kinerjanya dan masyarakat tetap tidak puas, Bea Cukai bisa dibekukan dan diganti dengan SGS seperti dulu,” ujar Purbaya.
Ancaman Serius: Kembali ke Era Orde Baru
Purbaya mengungkapkan kemungkinan pembekuan DJBC dan pengalihan tugas kepada perusahaan asal Swiss, Societe Generale de Surveillance (SGS), sebagaimana pernah diterapkan saat era Orde Baru. Pada tahun 1985, Presiden Soeharto pernah membekukan Bea Cukai karena maraknya penyelundupan, dan fungsinya dialihkan kepada SGS hingga 1997.
Ancaman ini bukan sekadar gertakan. Purbaya menegaskan kepada seluruh pegawai DJBC agar bekerja lebih sungguh-sungguh, karena kegagalan dapat berdampak pada 16.000 pegawai yang berpotensi dirumahkan.
“Kalau kita gagal memperbaiki, nanti 16 ribu orang pegawai Bea Cukai dirumahkan. Orang Bea Cukai pintar-pintar, dan siap untuk mengubah keadaan,” tambah Purbaya.
Temuan Pelanggaran yang Mengejutkan
Tekanan terhadap Bea Cukai meningkat setelah sejumlah temuan pelanggaran terungkap. Dalam inspeksi mendadak di Kantor Bea Cukai Tanjung Perak, Surabaya pada 11 November 2025, Purbaya menemukan indikasi kuat praktik under-invoicing, di mana barang impor dilaporkan jauh di bawah harga sebenarnya.
Contohnya mencengangkan: mesin impor yang seharusnya berharga Rp40-50 juta dilaporkan hanya bernilai US$7 atau sekitar Rp117.000. Praktik ini menyebabkan kerugian besar pada penerimaan negara karena bea masuk dan pajak impor menjadi jauh lebih rendah dari yang seharusnya.
Selain itu, tudingan pungutan liar mencapai Rp550 juta per kontainer untuk meloloskan impor pakaian bekas ilegal turut memicu polemik. Meskipun Dirjen Bea Cukai Djaka Budhi Utama menyebut informasi tersebut menyesatkan, ia memastikan hukuman pemecatan akan dijatuhkan kepada pegawai yang terbukti terlibat.
Solusi Teknologi: AI untuk Deteksi Pelanggaran
Untuk mengatasi permasalahan sistemik, Purbaya menerapkan teknologi kecerdasan buatan (AI) di berbagai stasiun operasional Bea Cukai. “Kita sudah mulai terapkan AI di stasiun-stasiun Bea Cukai. Under invoicing akan cepat terdeteksi sambil kita perbaiki yang lain,” jelasnya.
Bea Cukai juga mengoptimalkan penggunaan pemindai Hi-Co Scan di pelabuhan besar seperti Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Belawan, yang terbukti efektif mendeteksi ketidaksesuaian dokumen dan barang. Teknologi ini bahkan berhasil mengungkap kasus kontainer ekspor rokok yang ternyata berisi air mineral.
Optimisme di Tengah Tekanan
Meski memberikan ultimatum keras, Purbaya menunjukkan optimisme terhadap kemampuan reformasi DJBC. “Sekarang cukup baik kemajuannya, saya pikir tahun depan sudah aman. Artinya, Bea Cukai akan bisa bekerja dengan baik dan profesional,” tuturnya.
Sebagai informasi, Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai mencapai Rp249,3 triliun per Oktober 2025, atau setara 82,7 persen dari target. Realisasi tersebut ditopang oleh melonjaknya penerimaan bea keluar dan cukai.
Satu tahun ke depan akan menjadi periode krusial bagi DJBC. Berhasil atau gagalnya pembenahan tidak hanya menentukan nasib institusi, tetapi juga masa depan 16.000 pegawai yang kini berada di posisi genting. Bola kini berada di tangan jajaran Bea Cukai untuk membuktikan komitmen mereka pada reformasi.



