Sengketa lahan antara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan organisasi kemasyarakatan GRIB Jaya di Pondok Aren, Tangerang Selatan, berujung pada penangkapan 17 orang oleh Polda Metro Jaya pada Sabtu, 24 Mei 2025.
Penangkapan 17 Orang Terkait
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, menyampaikan bahwa dari 17 orang yang ditangkap, 11 di antaranya merupakan anggota GRIB Jaya, termasuk Ketua DPC GRIB Jaya Tangerang Selatan yang berinisial Y. Enam lainnya mengaku sebagai ahli waris lahan yang disengketakan.
Dalam operasi tersebut, polisi mengamankan sejumlah barang bukti berupa senjata tajam, atribut ormas, serta bukti karcis dan rekapan parkir yang menunjukkan adanya aktivitas penyewaan lahan oleh pihak ormas.
Latar Belakang Sengketa
Permasalahan bermula ketika BMKG melaporkan dugaan pendudukan ilegal atas lahan seluas 127.780 meter persegi yang akan digunakan untuk pembangunan Gedung Arsip BMKG. Laporan resmi disampaikan pada 20 Mei 2025.
BMKG menyatakan lahan tersebut merupakan milik negara yang telah bersertifikat, dengan dokumen pendukung berupa Sertifikat Hak Pakai No. 1/Pondok Betung Tahun 2003. Kepemilikan negara atas tanah tersebut juga telah diperkuat oleh putusan pengadilan, termasuk Putusan Mahkamah Agung No. 396 PK/Pdt/2000.
Aktivitas Ilegal dan Gangguan Konstruksi
Pembangunan gedung arsip yang dimulai sejak November 2023 mengalami gangguan dari kelompok yang mengklaim sebagai ahli waris dan dari pihak ormas. Mereka dilaporkan memaksa penghentian kegiatan konstruksi, menarik alat berat dari lokasi, menutup papan proyek, serta mendirikan pos jaga dan menyewakan sebagian lahan kepada pihak ketiga.
BMKG juga mengungkap bahwa pihak ormas sempat menuntut kompensasi sebesar Rp5 miliar sebagai syarat untuk menghentikan pendudukan.
Tanggapan dan Bantahan GRIB Jaya
GRIB Jaya menyatakan aksi mereka merupakan bentuk pembelaan terhadap warga dan ahli waris yang mengaku telah menempati lahan tersebut sejak lama. Ketua Tim Hukum GRIB Jaya, Wilson Colling, menyebut akar sengketa ini telah berlangsung sejak 1992 dan tidak ada perintah eksekusi pengadilan yang mewajibkan ahli waris untuk keluar dari lahan tersebut.
Wilson juga menekankan bahwa tim advokasi telah mempelajari dokumen sebelum mengambil langkah hukum.
Langkah Penegakan Hukum
Polisi menyatakan bahwa kasus ini termasuk dalam upaya pemberantasan premanisme. Laporan awal menyebutkan adanya dugaan pelanggaran hukum berupa:
- Memasuki pekarangan tanpa izin (Pasal 167 KUHP)
- Penggelapan hak atas barang tidak bergerak (Pasal 385 KUHP)
- Perusakan secara bersama-sama (Pasal 170 KUHP)
Sebagai bagian dari penegakan hukum, polisi membongkar posko GRIB Jaya di lokasi sengketa. Dalam pengecekan di lapangan, ditemukan bahwa sejumlah bangunan telah disewakan kepada pedagang dengan pungutan liar. Dua pedagang diketahui telah membayar sewa hingga puluhan juta rupiah kepada ormas melalui transfer ke rekening Y, Ketua DPC GRIB Jaya Tangsel.
Sebanyak 426 personel gabungan dari Polda Metro Jaya dan Polres Tangerang Selatan diterjunkan dalam operasi pembongkaran.
Respons Pemerintah Pusat
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid, turut menanggapi kasus ini. Ia menegaskan bahwa tidak boleh ada pihak, termasuk ormas, yang mengklaim tanah negara tanpa dasar hukum yang sah. Nusron menyatakan bahwa status kepemilikan lahan tersebut akan dicek melalui data di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).
Jika tanah tersebut benar tercatat sebagai Barang Milik Negara (BMN), maka tidak dapat diklaim atau dimanfaatkan secara sepihak oleh individu maupun organisasi.
Sengketa antara BMKG dan GRIB Jaya menyoroti pentingnya penegakan hukum terhadap penggunaan lahan negara. Kasus ini menunjukkan perlunya koordinasi antara lembaga pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat untuk mencegah penyalahgunaan aset negara dan memastikan pembangunan berjalan sesuai rencana.